Bismillah.
Malam minggu, 8 April 2017--
Tinggallah kami berempat yang berada di rumah Tanti; saya, Hafidz, Zacky, dan Aqiel, setelah Ajay pulang maghrib tadi. Berempat ndopok ngalor-ngidul disajeni teh, kacang, jeruk, apel, pisang goreng, ditambah adanya kabut-kabut aneh; semakin miriplah kami dengan lelembut yang membuat Ajay pulang gasik. Kapan lagi kami (terutama saya) bisa seperti ini?
***
Beberapa jam sebelumnya, karpet digelar, acara rutin mujahadah kelas XII MIPA 5 bergulir tanpa rintik hujan seperti biasanya mungkin akibat siklon tropis di selatan Jawa yang kata NASA berumur pendek. Ini mujahadah yang aneh. Sebenarnya saya dan Ipeh merencanakan keanehan lain, namun karena situasi yang tidak diperkirakan sebelumya yaitu kondisi yang tidak kondusif setelah foto bersama dan banyak yang sudah pulang maka kami mengurungkan niat, mungkin lewat post ini saja kami ungkapkan.
Jujur saya ada perasaan aneh sore itu, sebenarnya bukan cuma kala itu, ketika melihat teman-teman saya bersenda gurau. Guyub. Saya merasakan, "Kok ngene?" Saya gumun, "Jangan-jangan ini saat terakhir saya." Perasaan itu sangat mungkin dibesar-besarkan oleh ziarah yang saya lakukan sebelumnya. Saya agak takut.
Mungkin memang seharusnya seperti ini; apa yang terjadi, terjadilah. Kun faya kun. Saat itu saya lupa setiap dinamisme kelas ini sejak hampir dua tahun lalu, ini menghantui hingga saya pulas malam itu.
***
"Mujahadah artinya bersungguh-sungguh," Kata Pak Aziz. Mujahadah memiliki akar yang sama dengan jihad. Dalam memaknainya, kata seseorang hidup adalah perjuangan, perjuangan sudah dilakukan umat manusia sejak ia lahir, bahkan saat dalam proses kelahiran. Karena mendekati UN, sangat boleh ini dianggap salah satu bentuk perjuangan selain usaha kita saat proses kelahiran dulu.
Keberlangsungan hidup setiap organisme di kelas ini dapat diinterpretasi dengan baik dengan mengutip kata budayawan mahsyur, Emha Ainun Nadjib, kurang lebih: "Hidup itu bergetar dan mengalir." Maka hidup bisa dikonsepkan seperti gelombang (getaran yang merambat) yang punya panjang gelombang, frekuensi, periode, amplitudo, dan lainnya, serta sifatnya yang dapat terdifraksi, interferensi, dan lainnya. Bagaimana jika hidup manusia dianalogikan (diotak-atik gathuk) dengan konsep elektromagnetik yang menurut kaca mata fisika mekanika kuantum memiliki dua sifat yaitu sebagai partikel dan gelombang dalam waktu yang sama? Cukup.
Pada akhirnya hidup itu sendiri yang menjadi pertanyaan terbesar dan setiap orang akan menemukan konsepsi hidup masing-masing. "Ke-masing-masing-an" itulah yang melahirkan "perbedaan", intrik, dan dinamisme. Lalu apa selanjutnya? Secara alamiah semua itu menuju pada kecenderungan untuk "seimbang", equillibrium, isoton. Meski terkadang prosesnya berkesan hyperbolic. Inilah yang terjadi di antara kata kun dan faya kun. Maka bolehlah kita merenungi kata wong tuwa ini, "Swarga-neraka golek dhewe-dhewe, nanging slamet digolek bareng-bareng."
Kelas ini bermetamorfosis. Metamorfosis bukanlah masalah kepompong, ulat, atau kupu-kupu, tetapi proses. Maybe this class is not perfect, but it's awesome! Biarlah kelas ini, kekeluargaan ini, tidak terdefinisi.
Daripada saya mengutip lirik "persahabatan bagai kepompong", saya kutip salah satu lagu favorit saya yang menjadi judul pos ini, Taifun oleh Barasuara:
Di dalam hidup ada saat untuk berhati – hati atau berhenti berlari
Tawamu lepas dan tangis kau redam di dalam mimpi yang kau simpan sendiri
Semua harap yang terucap akan kembali
Akan kembali
Saat kau menerima dirimu dan berdamai dengan itu
Kau menari dengan waktu tanpa ragu yang membelenggu
***
Kami berempat baru meninggalkan tempat mujahadah setelah kurang lebih dua setengah jam matahari terbenam. Menuju ke peraduan dengan tujuan masing-masing, dengan masa depan masing-masing, dengan taifun dan lelembut masing-masing. "Nyong arep nonton Liverpool," rencana Aqiel. Sedangkan saya menyukupkan perjalanan hari ini. Akhirnya, rencana aneh saya dan Ipeh tidak tersampaikan di sini. Terimakasih.