Senin, 10 April 2017

Taifun

Bismillah.

Malam minggu, 8 April 2017--
Tinggallah kami berempat yang berada di rumah Tanti; saya, Hafidz, Zacky, dan Aqiel, setelah Ajay pulang maghrib tadi. Berempat ndopok ngalor-ngidul disajeni teh, kacang, jeruk, apel, pisang goreng, ditambah adanya kabut-kabut aneh; semakin miriplah kami dengan lelembut yang membuat Ajay pulang gasik. Kapan lagi kami (terutama saya) bisa seperti ini?

***
 
Beberapa jam sebelumnya, karpet digelar, acara rutin mujahadah kelas XII MIPA 5 bergulir tanpa rintik hujan seperti biasanya mungkin akibat siklon tropis di selatan Jawa yang kata NASA berumur pendek. Ini mujahadah yang aneh. Sebenarnya saya dan Ipeh merencanakan keanehan lain, namun karena situasi yang  tidak diperkirakan sebelumya yaitu kondisi yang tidak kondusif setelah foto bersama dan banyak yang sudah pulang maka kami mengurungkan niat, mungkin lewat post ini saja kami ungkapkan.

Jujur saya ada perasaan aneh sore itu, sebenarnya bukan cuma kala itu, ketika melihat teman-teman saya bersenda gurau. Guyub. Saya merasakan, "Kok ngene?" Saya gumun, "Jangan-jangan ini saat terakhir saya." Perasaan itu sangat mungkin dibesar-besarkan oleh ziarah yang saya lakukan sebelumnya. Saya agak takut.

Mungkin memang seharusnya seperti ini; apa yang terjadi, terjadilah. Kun faya kun. Saat itu saya lupa setiap dinamisme kelas ini sejak hampir dua tahun lalu, ini menghantui hingga saya pulas malam itu.

***

"Mujahadah artinya bersungguh-sungguh," Kata Pak Aziz. Mujahadah memiliki akar yang sama dengan jihad. Dalam memaknainya, kata seseorang hidup adalah perjuangan, perjuangan sudah dilakukan umat manusia sejak ia lahir, bahkan saat dalam proses kelahiran. Karena mendekati UN, sangat boleh ini dianggap salah satu bentuk perjuangan selain usaha kita saat proses kelahiran dulu.

Keberlangsungan hidup setiap organisme di kelas ini dapat diinterpretasi dengan baik dengan mengutip kata budayawan mahsyur, Emha Ainun Nadjib, kurang lebih: "Hidup itu bergetar dan mengalir." Maka hidup bisa dikonsepkan seperti gelombang (getaran yang merambat) yang punya panjang gelombang, frekuensi, periode, amplitudo, dan lainnya, serta sifatnya yang dapat terdifraksi, interferensi, dan lainnya. Bagaimana jika hidup manusia dianalogikan (diotak-atik gathuk) dengan konsep elektromagnetik yang menurut kaca mata fisika mekanika kuantum memiliki dua sifat yaitu sebagai partikel dan gelombang dalam waktu yang sama? Cukup.

Pada akhirnya hidup itu sendiri yang menjadi pertanyaan terbesar dan  setiap orang akan menemukan konsepsi hidup masing-masing. "Ke-masing-masing-an" itulah yang melahirkan "perbedaan", intrik, dan dinamisme. Lalu apa selanjutnya? Secara alamiah semua itu menuju pada kecenderungan untuk "seimbang", equillibrium, isoton. Meski terkadang prosesnya berkesan hyperbolic. Inilah yang terjadi di antara kata kun dan faya kun. Maka bolehlah kita merenungi kata wong tuwa ini, "Swarga-neraka golek dhewe-dhewe, nanging slamet digolek bareng-bareng."

Kelas ini bermetamorfosis. Metamorfosis bukanlah masalah kepompong, ulat, atau kupu-kupu, tetapi proses. Maybe this class is not perfect, but it's awesome! Biarlah kelas ini, kekeluargaan ini, tidak terdefinisi.

Daripada saya mengutip lirik "persahabatan bagai kepompong", saya kutip salah satu lagu favorit saya yang menjadi judul pos ini, Taifun oleh Barasuara:

Di dalam hidup ada saat untuk berhati – hati atau berhenti berlari
Tawamu lepas dan tangis kau redam di dalam mimpi yang kau simpan sendiri
Semua harap yang terucap akan kembali
Akan kembali
Saat kau menerima dirimu dan berdamai dengan itu
Kau menari dengan waktu tanpa ragu yang membelenggu

***

Kami berempat baru meninggalkan tempat mujahadah setelah kurang lebih dua setengah jam matahari terbenam. Menuju ke peraduan dengan tujuan masing-masing, dengan masa depan masing-masing, dengan taifun dan lelembut masing-masing. "Nyong arep nonton Liverpool," rencana Aqiel. Sedangkan saya menyukupkan perjalanan hari ini. Akhirnya, rencana aneh saya dan Ipeh tidak tersampaikan di sini. Terimakasih.

Kamis, 16 Juni 2016

Angin

Wahai angin
Tahukah dikau
Bahwa teduh memancarkan
cahaya redup yang menyusup
di gelas kaca di waktu ashar
Mengalahkan wangi
Aroma cahaya dan bunga melati
Yang pernah berkembang
Liar di tanah hati
Sewaktu musim hujan itu
Kuingat wangi dan intensitas
Dari cahaya terang menerobos
kaca jendela di waktu dhuha
Menyisakan sesak membakar
Yang kelak akan kusyukuri
Bunga yang mati
Di tanah rindu yang menyubur
Tahukah dikau
Wahai angin
Bahwa mati menuntunnya
ke keabadian?
Ia tumbuh dalam sepi
Ia tumbang dalam sepi

Minggu, 01 Mei 2016

Kemah Bhakti : Ada Apa dengan Sambon


Jika Anda mendengar pekikan "pilothok" (Pillowtalk, Zayn Malik) diikuti dengan aransemen acapella aneh dan tidak jelas dari salah satu lagu Coldplay di siang hari sekitar kebun dan persawahan Sumberdalem, Kretek, Wonosobo, 30 April 2016 lalu, maka Anda jelas telah mendengar yel-yel sangga kami, Sangga Sam Ratulangi dalam acara Kemah Bhakti Satria Smansa. Keanehan dan kekurangjelasan yang kami bawa telah menghantarkan predikat Sangga Putra Tergiat. Dalam hal ini, kredibilitas dewan ambalan dan panitia nampaknya patut untuk dipertanyakan.  :-)

***

Truk berbak logam yang jelas sudah berpengalaman mengangkut berbagai jenis barang dan makhluk itu mengantarkan kami ke bumi perkemahan (lapangan) di Sambon, Sumberdalem, Kretek. Upacara pembukaan menandakan acara kemah dua hari semalam ini dimulai. Masa depan tampak abstrak saat itu. Aku antusias.

Sebenarnya aku bukanlah aktivis ataupun 'anak pramuka', aku belum (atau tidak) hafal Dasadharma, pramuka masih berupa cahaya redup di pikiran. Perkemahan pramuka bukanlah hal baru untukku. Yang terpenting dari kegiatan semacam ini adalah pengalaman dan makna yang dapat diambil. Maka dari itu, pramuka mendapatkan ruang tersendiri dalam diriku.

Acara setelah upacara adalah bakti sosial. Kami diwajibkan mengantarkan paket bahan makanan untuk disumbangkan kepada seseorang yang namanya telah tercantum pada paket di sekitar lokasi kemah. Berikutnya istirahat dan dilanjutkan pentas seni antar kelas pada sore harinya.

Anggota tidak tahu, dewan tidak tahu, pembina tidak tahu, bahwa angin sepoi yang membelai waktu kami pentas sore itu membawa dinding-dinding awan jenuh yang menguji kesiapan kami. Air, keluhan, hingga sumpah serapah membanjiri lapangan. Cuaca seakan bersengkongkol, terik matahari membakar dalam scout touring keesokan harinya menemani kami melaksanakan tugas dan meneriakkan yel-yel macam mantra aneh.

***

Setelah pentas seni, hujan menggiring sore, membolak-balik rencana, mempercepat waktu istirahat kami. Istirahatku malam itu diawali dengan beberapa seruput kopi susu, membayangkan kafein yang tidak mempan dan seperti apa kegiatan scout touring esok hari. Suara gurauan teman-teman yang mewarnai malam seakan aku acuhkan. Aku tidak tahu dan terlelap begitu saja.

Dini hari. Api itu membakar kayu dan ranting, mengalir indah melantunkan cahaya, kehangatan, dan asap putih yang menari lembut itu lalu bersenyawa dengan merdunya paduan suara. Sejenak aku bercumbu dengan mereka. Aku berpikir, tidak akan ada cahaya, kehangatan, dan asap putih yang menari lembut itu tanpa lumatnya kayu dan ranting oleh api. Bulan seakan-akan malu melihat tingkah kami, berkali-kali ia timbul tenggelam di antara awan. Ini sama sekali bukan penderitaan, ini kejadian tidak sesuai dugaan dengan keajaiban kecil, dengan tiga poros asmara yang misterius. Api menghamburkannya.

***

Ah oah oah
Kami Sam Ratulangi
So high, so high
....

Yang aku tahu, kami hanya bersemangat saat yel-yel itu. Mantra-mantra magis itu menyaru dengan dengung serangga yang tidak sabar menyambut pergantian musim , membangkitkan api semangat, tidak tanggung-tanggung sampai kami tidak melakukan merayap di lumpur di pos terakhir karena kami terlalu cepat dan pos belum jadi, kami menyebutnya "jalan suci". Rapalan mantra acapella itu benar-benar ajaib. Ia meluruhkan terik, menyatukan semangat, membuat dahi beberapa dewan mengrenyit. Mungkin ini juga yang membuat kami mendapat piagam bertahtakan bingkai kayu dan kaca yang dipredikatkan setelah upacara penutup itu, entahlah.

***

Kegiatan Kemah Bhakti berakhir, ditutup bacaan hamdalah. Aku pulang dengan truk yang sama seperti saat berangkat. Gerimis sempat membasahi bagian atas tubuh ini, segar. Kegiatan ini menjadi pengingat. Seringkali aku tenggelam dalam kecongkaan, penyesalan, dan kekaguman sekaligus. Terseret dalam arus tak tentu di bumi perkemahan ini. Emosiku tidak berdaya, egoku menciut. Lalu Tuhan membuka hijab hikmahnya. Menarik kembali semangatku dari dalam arus itu.

Aku menikmati indahnya berbagi, bersyukur, menyadari bahwa aku masih beruntung dan ada orang yang berjuang dan menggantungkan hidup pada teknologi tradisional tanpa kenal lelah, aku terharu melihat Pak Patenan berterimakasih dan sedikit mengadukan nasibnya saat kami temui di bakti sosial. Aku bersemangat dan rela menggali parit dengan sendok. Berjalan di antara pematang dan terik bukanlah halangan. Aku membiarkan tawaku lepas, berjingkrak, dan menari bersama teman-teman. Aku membiarkan jiwa ini hanyut larut.

Aku menyesal belum dapat memberi lebih untuk teman-temanku, kontribusi untuk gudep SMA ku, dan bakti nyata untuk negeri ini. Nyatanya, kami begitu kecil, sombong, dan biang keladi keluhan-keluhan tidak penting yang terdengar di antara bidang berumput itu sejak pagi kami di sana.

Aku yakin Allah akan membalas setiap cucuran keringat, luka, dan hembusan nafas dari mereka yang peduli dan bekerja keras untuk semua ini.

***

Sandi Ambalan Chandradimuka

Tegak menapak mencakar buana
Berdiri di muka bumi tiada kenal jera
Bagai pilar-pilar baja menyangga angkasa
Gunung menjulang bukan halangan
Jurang menerjang bukan pepalang
Badai topan tak hendak putuskan cita
Walau ombak menerjang pecahkan karang
Maruta menghapus segala yang ada
Asa tak hendak pupus, bagai asap dupa ditelan cakrawala
Hati tetapkan teguh, seteguh cahaya permata

Kehormatan itu suci
Kaya atau melarat adalah keadaan lahir
Janganlah melukai hati sesama
Lebih baik mati dengan hormat, daripada hidup dengan nista
Sabda pandita ratu,
Manusia adalah manusia
Menjunjung tinggi Angsal Kehormatan Chandradimuka:
'Berkarya, berbakti, membina nusa dan bangsa'

*Tribute for Dewan Ambalan Gudep SMA 1 Wonosobo*

Sabtu, 16 April 2016

2 Juni 2015, Terang Bulan Kesunyian Telaga

Aku terbangun akibat keributan kecil di luar tenda, entah mata tidak mau kembali terpejam setelah 2 jam tertidur di tengah kesunyian malam terang bulan. Malam itu begitu syahdu, kata-kata kotor yang beberapa kali terdengar keluar dari mulut kami bagiku tidak mengurangi kesyahduannya. Kabut beberapa kali timbul melingkupi udara dingin di tepi telaga ini. Beruntung aku masih bisa menikmati suasana sepi ini, yang mungkin akan mulai lenyap beberapa bulan atau tahun lagi.

Malam ini aku melupakan sejenak perjuangan kami ke tempat tersembunyi ini. Cahaya bulan menyibak kegelapan, mulai turun ke ufuk barat, memanjangkan bayangan pepohonan di bukit yang membentengi telaga. Paginya, keindahan yang terlihat lebih spektakuler, ajaib! Aku suka kesunyiannya, cahaya lembut itu, pepohonan, refleksi langit dari telaga, awan-awan tipis, dan nyanyian alam. Aku membuka mata, pendengaran, dan pikiran. Mencoba memahami peristiwa ini.

Apa yang kami lakukan di sini, apakah mencerminkan tindakan yang baik atau cuma baik untuk kami? Kami hanya pemeras alam yang tidak tahu diri. Mengagung-agungkan kekuatan penaklukan alam yang tolol dengan alasan mencari kepuasan batin dan "jati diri". Demi itu, demi surga sunyi yang tersembunyi ini, apakah setelah kami mencapainya kami mencampakkan semua ini begitu saja? Bahkan tanpa menengok ke belakang, tanpa memperhatikan ketulusan alam ini, untuk kita dan generasi mendatang.

Seperti biasa, ini yang aku temukan jika mengikuti kegiatan buta semacan ini, karakter setiap orangnnya akan terbuka lebar. Aku membacanya, ya, jelas sekali. Tidak perlulah aku tulis di sini secara mendetail. Apa yang aku duga tidak terbukti begitu saja, berbeda sama sekali. Kali ini aku mulai muak dengan kegiatan seperti ini. Jika dilakukan dengan tidak bijak, masa bodoh. Aku besyukur, kali ini pengorbananku membuahkan hasil yang manis sekaligus getir.